Enzo Alifymouvic
Selasa, 14 Januari 2014
Senin, 13 Januari 2014
Balada Kucing & Tikus
‘’Ceritakan kisah aneh yang sudah aneh kek’’ pinta Tiwi
sebelum tidur. Sorot mata kakeknya menerawang. Dimulalah cerita itu.
Di atas gedung pencakar langit, awan menggumpal menjadi
hitam pekat, menciptakan air, menurunkan hujan. Gedung berlantai 145 itu
diguyur hujan lebat, mengalir membasahi lapisan bumi jantung kota.
‘’gawat, pak!’’ kata sekretaris perusahaan itu lewat telpon tiba-tiba.
‘’gawat bagaimana?’’
‘’lantai paling atas acak-acakan. Arsip dan brankas banyak
yang sobek dan rusak.
‘’oke, ke sini saja kamu!’’
Sekretaris itu setengah berlari ke ruang bosnya.
‘’tok...tok...’’
‘’Masuk! Apa penyebabnya?’’ tanya bos itu seperti gusar
benar.
‘’Tikus pak’’
‘’Tikus, hannya tikus?’’
‘’Iya, tikus. Karyawan bilang, lantai atas tiba-tiba diserbu
tikus’’
‘’Banyak?’’
‘’Tentu banyak pak. Namanya juga diserbu. Oh ya, clening
servise dan seluruh security sudah di kerahkan, namun tetap pentungannya tidak
bisa mengusir tikus-tikus itu’’
Bos bertubuh tanbun itu mondar-mandir seraya berfikir apa
yang terjadi. Ia perhatikan kursi jabatannya dengan seksama. Ada gurat
kekhawatiran di wajahnya. Suasana aman
di gedung itu terganggu, terutama di lantai paling atas. Memang tikus-tikus
seperti menteror penghuninya. Para karyawan takut dan cemas, karena tikus-tikus
itu tidak pernah di ketahui sebelumnya. Ukuran tak sama dengan tikus pada
umumnya. Inilah yang kelihatan aneh dan langka, selain masih banyak lagi
perdebatan dengan tikus-tikus di luar. Semua karyawan baik laki-laki ataupun
perempuan meringis dan tidak ada yang berani mengusir.
‘’Busyet! Semakin gawat bos’’ lapor kepala security yang
nyelonong masuk ke ruang bosnya.
‘’Tikusnya tambah banyak. Sekarang nyebar kelantai 17’’
‘’Berarti sebentar lagi merambah ke sini dong. Hi.... !’’
ucap sekertaris itu meringis dan geli.
Kedua mata presedirnya melirik tingkah sekertarisnya.
‘’Gimana bos? Semua karyawan sudah enggak tahan. Mereka
semua sudah mencak-mencak’’ kata kepala security lagi, mendesak bosnya agar
segera mengambil kebijakan.
‘’Hentikan aktivitas, gitu?’’
‘’Iya Bos, sebelum tikus-tikus itu lenyap’’ presedir itu
mengangguk setuju, semua karyawan diliburkan. Kemudian para karyawan itu
dengan terpaksa harus pulang, meski
hujan di luar belum reda benar. Dalam perjalanan mereka saling bertanya cerita
tikus-tikus itu.
‘’Tikusnya aneh-aneh. Badannya besar-besar dan warnanya
macam-macam. Sebenarnya sih lucu kalau
dilihat, karena kayak boneka’’
‘’Seperti Micky Mouse?’’ potong yang lain dengan pertanyaan
karena penasaran.
‘’Subhanallah! Iya betul. Tikus-tikus itu kayak Micky Mouse,
yang di lehernya melingkar kalung yang mirip sebuah dasi. Tapi tikus yang ini
ganas, lho! Bayangkan, selain makan daging dan ikan ia juga suka melahap
kertas-kertas seperti kecoak. Pokoknya langka deh’’
‘’Waladalah, dasar tikus kota!’’
***
Dirumahnya yang megah, direktur perusahan itu termenung
sendiri. Setang cerutu yang di apit dua jari kirinya. Boleh jadi ia nervous,
khawatir perusahaannya bangkrut. Kisah wabah tikus di perusahaannya sudah banyak yang tahu, media informasi
menyebarkannya. Maka wajar bila orang-orang terutama pihak asing menanam saham
lagike dalam perusahaannya, semuanya
takut rugi. Maklum, seluruh ruangan perusahaan itu sudah dipenuhi tikus. Barang
–barangpun hanya sedikit yang terselamatkan. Sudah terlalu lama mungkin
tikus-tikus itu bersarang disana. Di tengah kegalauan dan kebingungan bos dan
serta seluruh karyawan perusahaan itu, tiiba-tiba ada yang menjadi juru selamat
kayaknya ratu adil yang datang disituasi yang tepat.
‘’Oke! Apa yang bisa anda lakukan?’’
‘’Kami hanya ingin menolong, dan berusaha semaksimal
mungkin, selebihnya kami serahkan pada tuhan’’ ucapnya datar.
‘’Kami memiliki racun terbaik made in Amerika dan Swiss’’
lanjutnya
‘’Taukah anda kalau tikusnya ganas dan rakus?’’
‘’Hemm!’’
‘’Baiklah jika begitu. Kami trima tawaran Anda’’ ucap
menejer perusahaan itu diselingi rasa ragu.
***
Di hari yang ditentukan, gedung pencakar langit itu dikepung
personil pemadam kebakaran. Tapi kali ini tugas mereka memadamkan api tikus
yang semakin berkobar, mewabah di setiap sudut ruang itu. Otomatis bahan yang
mereka gunakan bukan air, melainkan racun tikus yang bermerek IMF. Namun ajaib
yang terjadi, setelah racun itu disemprotkan, tikus-tikus itu bukan malah
kalang-kabut dan mati. Tikus-tikus itu seakan menemukan oase di padang gersang.
Mereka, para tikus meminum racun itu, haus sekali kelihatannya. Ternyata
tikus-tikus itu sudah kebal , benar-benar bengal dan tak kenal kenyang. Ulah
tikus-tikus sudah keterlaluan. Entah tersimpan dimana barang –barang yang masuk
ke dalam perutnya?. Hal yang tak masuk akal bagi para karyawan dan seluruh staf
perusahaan itu. Menjengkelkan, bikin kesal karena telah membuat mereka
menganggur, padahal mereka butuh makan.
Demikian yang terjadi wabah tikus membuat para karyawan itu
kehilangan pekerjaan. Mereka harus di PHK, harapan bagaikan sirna ditelan
kebiadaban dan kerusakan, perusahaan itu hampir gulung tikar akibat hutang luar
negeri yang sedianya untuk mengembangkan usaha tak terbayar, ditambah bantuan
kemanusiaan yang non sense dan omong kosong belaka. Guna mengusir tikus
katanya, mata dunia menyorotinya. Semua dunia tahu, perusahaan yang telah berkembang
itu dapat malapetaka, sendrom di perusahaan itu sering jadi wacana pers
internasional. Dahsyat!
***
Inisiatif demi inisiatif
telah direalisa sikan guna memberangus tikus-tikus itu, tak pernah
diperoleh hasil maksimal, dan akhirnya di temukan solusi alternatif yaitu
dengan mengumpulkan kucing-kucing agar dapat memangsa tikus-tikus. Dalam rapat
akbar yang agendanya ‘’menumpas tikus hingga tuntas’’, ada salah satu pimpinan
perusahaan cabang yang mengusulkan agar kucing saja yang menumpasnya, selama
ini memang tikus-tikus paling terkenal takut sama kucing.
Dalam rapat akbar tersebut ada perhelatan memanas ketika
kucing menjadi sebuah usulan. Boleh jadi
karena tikus-tikus itu telah menjamur ke perusahaan cabang yang tersebar
di ibu kota propensi, kabupaten bahkan sampai ke agen yang ada di desa-desa.
Tentang kemampuan kucing-kucing itu banyak di
ragukan, melihat sindrom tikus yang semakin mewabah dan ganas saja.
Walau, toh akhirnya setuju semua.
***
Beribu-ribu kucing terkumpul
sudah. Kucing-kucing itu diberi makan secukupnya agar memiliki tenaga
dan mampu melumat tikus-tikus itu. Sengaja memang. Jika nanti terlalu kenyang
dikhawatirkan kucing itu malas melaksanakan tugas.
‘’Bagaimanapun percobaan kita harus berhasil’’ ucap kepala
security. Tangannya terkepal.
‘’Tapi jangan lupa berdoa pada yang kuasa pak’’. Kata
bawahannya, mencoba menasehati.
‘’Diam kau! Sompret’’.
‘’Siap!’’ eksperimenpun dilaksanakan. Serempak kucing-kucing
dilepas. Lantas kucing-kucing itu merangsek ke seluruh penjuru yang dapat dilalui
tikus. Kucing-kucing itu mengepung gedung itu. Tikus-tikus tau kucing datang.
Tanpa sebuah komando semua tikus itu bersembunyi, lantas lari terbirit-birit.
Kucing pun berlari-lari mengejar tikus itu. Tikus menghilang sembunyi.
Semua tampak puas akan kinerja kucing. Eksperimen pertama di
anggap berhasil. Setelah 3,2 bulan terakhir. Tidak ada lagi tikus-tikus itu.
Gedung itupun dibersihkan kembali, ditata lagi seperti semula, seperti
kertas-kertas yang berserakan dan........
‘’Terus kisah kejar-kejaran antara tikus dan kucing?’’
potong Tiwi penasaran. Tikus itu berusaha menyelamatkan diri dari kejaran
kucing. Tikus-tikus melompat-lompat dan berlari terus, hingga sampailah mereka
ditengah-tengah sungai yang kotor. Tikus-tikus itu berenang di sana. Senang
sekali sepertinya mereka berkelit di sana dari serbuan kucing. Sementara sang
kucing siap siaga berjaga di tepi sungai. Mulut kucing-kucing itu menganga
menampakkan taring-taringnya seperti hendak menerkam, melumat apa saja yang
berada di depannya. Sayangnya kucing paling takut berenang.
‘’Begitulah’’ jawab sang kakek singkat. Kemudian kedua mata
Twi terpejam. Dalam bunga tidurnya ia melihat tikus-tikus itu telah tiada,
dimakan usia.
Kamis, 09 Januari 2014
Catatan harian suami Buat istri tercinta
Siang itu, matahari
bersinar terik. Kemarau panjang yang berlangsung sekitar lima bulan, dengan angkuh membakar bumi.
Pohon-pohon banyak yang meranggas kekurangan air. Bunga-bunga yang menyejukkan
pandangan kini mulai layu. Dan deru mobil-mobil mewah tak tahu aturan melaju
begitu saja tanpa menoleh pada anak-anak jalanan yang sedang kehausan. Sebuah
kekejaman yang kembali menorehkan luka di hati si miskin-papa. Hingga
kesenjangan social yang terjadi, laksana jurang yang dalam di lereng gunung.
"Assalamu'alaikum…"
"Oh Dedy…,
good afternoon…"
Selalu itu…yang dia
ucapkan untuk menjawab salamku. Mengapa istriku sudah berubah demikian jauh,
padahal aku selalu protected untuk hal-hal modern yang tak sesuai dengan ajaran
dan budaya Islam. Kucoba untuk bersabar mendengar jawaban istriku untuk yang
kesekian kalinya, walaupun ingin rasanya aku marah. Ingin aku lontarkan semua
apa yang ada di dalam hatiku. Hingga akhirnya kata-kataku terlepas begitu saja…
"Emang nggak
ada yang lain untuk menjawab salamku?!"
Yach, mami hanya
ingin mengikuti perkembangan zaman saja, dedy…., mami melihat teman-teman mami
sesame istri pejabat setingkat dady kalau mengucapkan salam kepada suaminya
demikian. Jadi apa salahnya bila mami mencobanya pada papi…"
”But I don't want all are changed. No better
way than Islamic way, my darling. So please, don't continue what you have done
after this…"
"Ah udah… udah
…, masalah itu saja yang kamu permasalahkan. I think there is not something
wrong. And also there is not a principle problem."
Huh…, kurebahkan badanku di sofa ruang tamu.
Lama aku tengadahkan kepalaku pada langit-langit rumahku. Ada sesak menyeruak ke dalam dadaku mengingat
kejadian yang bara saja terjadi. Sebuah berbedaan kecil yang menurutku cukup
prinsipil. Namun entahlah sampai kapan ini semua akan berakhir…
Baru sakitar lima menit aku tenggelam dalam lamunanku,
terdengar langkah kaki istriku mendekat. Dengan berbalut blazer ketat berwarna
merah muda, depadu dengan jilbab transparan berwarna jingga dan celana kain
kitat yang nampak modis, perlahan mendekat menghampiriku.
"Abi…, aku ada meeting dengan kolega
bisbis. Aku pamit, mungkin sekitar jam sepuluh malam aku baru kembali."
Tertegun aku
mendengar ucapannya. Bukan karena permintaan izinnya yang memberatkan hatiku. Namun cara berpakaian
istriku sudah mulai asing dariku. Semakin jauh, hingga aku tak dapat
mengenalinya lagi. Belum sempat aku menjawab permintaan izinnya, kaki beralas
sepatu dengan hak tinggi itu, sudah menjauh dari hadapanku. Bunyi hak sepatu
yang beraturan seakan hentakkan jarum yan gyeratur menusuk-nusuk dagingku.
"Kreieeeeeet…", suara pintu rumahku
terdengar terbuka. Dan istriku mulai keluar sebelum ia mendengar jawabanku.
Semuanya telah berubah.
***
Tumpukan buku di
meja kerjaku berserakan tak terurusi. Catatan pinggir Goenawan Muhammad,
inspiratorku menulis nampak kumal, seperti buku sisa-sisa zaman Renaisanse.
Mushaf usang, hadiah dari istriku saat aku ulang tahun pertama setelah kita
menikah, selalu menjadi penghibur kekalutanku saat ini. Hingga mushaf setebal
tiga inci itu berubah menjadi lima
inci oleh deraian air maraku. Dipojok meja kerjaku, masih terpampang foto
belahan jiwaku, istriku. Foto saat pertama kali aku menaruh hati padanya, tujah
tahun yan gsilam. Namun foto itu kini telah berubah. Aku seperti tidak
mengenalnya lagi. Dna keterasinganku dengan orang yang aku cintai membuatku
pergi meninggalkan rumah. Aku jengah. Aku bosan. Sudah seminggu aku tidak
pulang ke rumah. Aku ingin mencari dan merenungkan, mengapa semuanya telah
berubah.
Lama kupandangi diary merah muda, tempat aku
menulis segudang obsesiku semenjak aku menikah. Sudah ribuan kata-kata tertuang
di dalamnya. Mulai assa indahnya bulan madu dengan istriku, berangan-angan
memiliki anak selusin sampai pertengkaran kecil yan gterjadi antara aku dan
dirinya. Hingga kemudian seperti ada kekuatan yan gmendorongku untuk meraih dan
membacanya kembali. Lembar demi lembar kubuka catatan harianku. Hiingga
tatapanku terpaku pada tulisan berwarna biru di tahun kedua aku menikah:
Jakarta,
15 Mei 2007
Tuhan,…
Keadilan-Mu kembali
hadir di bahtera rumah tangga kami…
Walaupun hanya
makan berlauk temped an sayur lodeh buatan istriku yang terkadang rasanya
terlalu asin, namun ada kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri hidup
didampinginya. Berapapun uang belanja yang aku berikan kepadanya, ia terima
dengan senyuman. Terima kasih tuha, kau telah anugrahkan kepadaku istri sebaik
dia…
Namun setelahmakan malam, demalam yang sedang
hujan gerimis itu, sambil memijit punggungku yang kelelahan bekerja, dengan
manja ia berkata padaku…
"Abi, jubahku udah mulai kekecilan untuk
ukuran tubuhku. Sekarang saja sudah sampai mata kakiku. Dan juga, jilbabku
sudah robek diatasnya. Kalau Abi diberikan rizki lebih oleh Allah, aku
dibelikan jubah dan jilbab yang baru ya…"
Mendengar kata-katanya yan gterakhir ini,
hatiku seakan menjerit
"Oh Tuhan
berikan aku kemampuan untuk membahagiakannya…"
Buliran air mataku
menitik, membentuk lingkaran noktah di diaryku…
Bayanganku tenggelam menuju lima tahun yang silam. Saat itu, setelahkami
sama-sama diwisuda, kami mencoba untuk hidup mandiri membina bahtera rumah
tangga. Walaupun hanya menempati rumah kpntrakan ukuran 5 x 8, namun ditemani
istri yang sholihah, rasanya rumah seukuran tersebut merupakan villa mewah di
tengah taman nan indah.
Namun setelah semuanya berubah. Setelah aku
menjadi salah satu anggota legislative propinsi Jawa Barat, setelah dia juga
menjadi istri pejabat yang juga harus bergaul dengan sesame istri pejabat,
semuanya telah berubah. Hingga aku merindukan kembali saat-saat seperti dulu
lagi, bahkan seperti ketika kita menempati gubuk ukuran 5 x 8. aku sangat merindukan kembalinya jubah dan jilbab
yang selalu menyejukkan bila kupandang, walaupun warnanya telah pudar. Aku merindukan
tetesan-tetesan embun pagi pada kelopak mawar merah yang sedang merekah
dipanasnya terik matahari. Tuhan aku sangat merindukan saat-saat tersebut.
Suara adzan dzuhur menggema membuyarkan
lamunanku. Takterasa sudah tiga jam aku duduk merenungi saat-saat indah bersama
istriku dulu. Bergegas aku menuju kamar mandi apartement yang aku tempati.
Guyuran air wudhu' menyapu mukaku meruntuhkan dosa-dosa yan gsiang tadi hinggap
di pelupuk mataku. Aku bersimpuh di hadapan tuhanku, kupanjatkan doa "Oh
Tuhan…, aku merindukansuasana seperti dulu lagi…"
Lama aku berdoao kehadirat-Nya. Hingga
kemudian aku tergerak untuk meraih pena dan secarik kertas merah muda dari
diary kenanganku. Dan segala kegundahanku kutuangkan dalam oretan kolaborasi
semua perasaaan dan asa.
To:
Istriku, Fia
Istriku,…
Sekarang aku sudah mulai asing dengan dirimu…
Kini kau bukan lagi
Fia yang aku kenal di kampus kita dulu, 7 tahun yang silam. Jubah panjangmu
yang dulu sering menyapu dedaunan dan ranting di halaman musholla kampus kita,
sekarang sudah berubah menjadi blazer ketat nan modis.
Cara berpakaianmu kini, lebih sering mengudik
rasa risihku dari tatapan lelaki lain yang iseng menatap lekuk-lekuk tubuhmu.
Istriku,…
Dulu bibirmu yang
polos tanpa pulasan, sering berbicara santun tentang pentingnya muslimah
menjagasikap, harga diri dan pergaulan.
Bahkan bersolek atau sekedar alas bedak
merupakan hal tabu bagimu, "kecuali untuk suamiku kelak…," katamu
kala itu.
Kini kulihat, bibir
itu sudah berganti-ganti warna setiap hari dengan sapuan koleksi gincu bermerk
Yves Saint Laurent, Avon, L’oreal, atau entah
apa lagi namanya. Bibir itu lebih lincah bercerita tentang pentingnya muslimah
menjaga reputasi kerja, pencapaian target, keutuhan tim kerja dengan kolega,
atau berbagai macam teori motivasi kerja dan organnisasi yang (minimal
menurutku) kurang sreg untukmu. Istriku,…
Wajah sederhana penuh ghiroh yang dulu sering
kulihat menghiasi halaman musholla kampus dalam setia acara pembukaan
pengajian, kini telah menjadi etalase odernitas denganpulasan bermacam-macam
merk make up. Wajah berbingkai nw ew dearshioned itu sering terpajang manis di
sela-sela seminar, workshop, sarasehan dan rapat-rapat kerja di berbagai hotel
mewah. Wajah itu lebih seringa terlihat memancarkan semangatmu dalam mengejar
target laporan kantor, sehingga kamu sering terlena dan melupakan indahnya
lantunan adzan.
Istriku,…
Deretan gigi putih
diiringi senyum manismu saat bercengkrama dengan rekan akhwat de sela-sela
rehat kuliah dahulu, sekarang sudah menjadi derail tawa lebar yang terlalu
seringa menggema di segenap ruang kantormu. Bahkan dari sini pun,” aku masih
bias mendengar derail tawamu dan kolega-kolegamuitu.
Istriku,…
Maafkan aku, kalau
sekarang aku sudah mulai tidak mengenalmu lagi…
Bahkan setelah 10
tahun pernikahan kita,…
Kegusaranku ini, tak lebih, hanya karena si
kecil sekarang lebih banyak hapal beberapa bait lagu peterpan dari pada”
beberapa ayat Al-Qut’an.
Kegelisahanku
sekarang, tak bukan, adalah ketakutanku akan gilangnya momen-momen indah hidup kita
dalam mendidik anak-anak kita.
Kegundahanku saat ini, tak lain, adalah
ketakutanku akan bualan angina duniawi yang mulai menerpa dan melenakan dirimu.
Maafkan,… kalau aku sekarang (terlalu) takut
sekali kehingan “dirimu”, yang dulu.
Itu saja…
Suamimu
Andree
Lama kupandangi
oretan luapan emosiku. Kemudian aku beranjak untuk meraih amplop hijau muda di
laci meja kerjaku. Kumasukkan tiga lembar surat
tersebut kedalam amplop.
‘’Ya Allah…, aku
sangat takut kehilangan dia. Aku sangat merindukan dia seperti dulu lagi. B
erilah hidayah kepadanya. Tapi jika tidak , cintaku kepada-Mu lebih besar,
Tuhanku… biarlah aku jatuh talak satu kepadanya. Tuhanku…, kuatkanlah aku…
Menggambar Wajahmu
Jika aku harus menggambar wajahmu adikku
Aku pasti selalu kesulitan memulainya
Matamu, selalu penuh rumput-rumput hijau
berembun
Yang siramkan sejuk di mataku
kadang berserakan pula dedaunan kering
yang menyesakkan lubang hidungku
Namun, tak pernah hilang salju yang
turun di sekitar alismu
Hidungmu, burung-burung gereja selalu hinggap berebutan
Sungguh sempurna…….. andai hinggap
dihidungku!
Bibirmu, tumbuh diantara buah strawberry
Saat musim semi begitu mempesona
Bila musim gugur, angin membawa tanyaku “Keringkah
warnamu?”
Namun selalu kuharap agar kau selipkan
senyummu pada setiap aliran mata air
Entahlah! Terlalu sulit membayangkan
rupamu
Mungkin kuberi warna kulitmu dulu!
Tapi masih saja.........bahkan lebih sulit tentukannya,
Memandangnya saja aku masih ragu
Menyentuhnya mungkin lebih baik
Tapi tanganku masih takut kotorimu
Entahlah terlalu sulit mereka-reka
warnamu
Kuharap ayah segera membantuku
Mengajariku menggambar wajahmu dan mewarnainya
Enzo Alifymouvic 261112|130134
Rabu, 08 Januari 2014
UNTUK AYAH
Ayah…..
Seringkali kau lemparkan senyum masam padaku
Kecut sekali lidahku merasanya
Mungkin kehendakmu atau tatapku saja?
Bukan masalah bagiku ayah….!
Bila kau beri aku buah apel
Aku tak bisa langsung memakannya
Kulitnya tebal berlapis kaca
Kulempar-lempar, ku tiup-tiup, kupandang-pandang
Lalu ku simpan, tak lebih dari itu
Marahkah kau padaku ayah?
Hingga kau tega mengambilnya dari kotak mimpiku
Tapi kurasa tidak…….
Mungkin teman jauhku katakan begitu
Maafkan aku ayah…..
Jika aku kurang atau tidak sopan padamu
Kadang aku melangkah didepanmu
Kadang aku bangunkan tidurmu
Kadang aku tak indahkan panggilanmu
Aku hanyalah anakmu ayah……
Yang tak punya mata, mulut, dan segala
Berani berucap dihadapmu
Hanya satu pintaku ayah!
Jangan kau ambil lagi apel-apel berkulit kaca
Yang sering kau berikan padaku
Anakmu……
Enzo Alifymouvic 011212|180134
Langganan:
Postingan (Atom)