Categories

Selasa, 14 Januari 2014

Said bin Amir Al-Jumahi : Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku

Khalifah Umar bin Khattab berniat menggantikan gubernur Syam yang semula dipercayakan kepada Muawiyah. Penggantinya yang diinginkan Khalifah adalah Said bin Amir Al-Jumahi. “Aku ingin memberimu amanah menjadi gubernur,” kata Umar kepada Said. Said berkata, “Jangan kau jerumuskan aku ke dalam fitnah, wahai Amirul Mukminin. Kalian mengalungkan amanah ini di leherku kemudian kalian tinggal aku.” Umar mengira bahwa Said menginginkan gaji, “Kalau begitu, kita berikan untukmu gaji.” Said menjawab, “Allah telah memberiku rizki yang cukup bahkan lebih dari yang kuinginkan.”

Begitulah kursi kegubernuran yang ditolak oleh Said dengan halus. Walau akhirnya dia harus menunjukkan ketaatannya kepada Khalifah dengan menaati keinginan Umar yang tetap bersiteguh untuk mengangkatnya sebagai gubernur Syam. Akhirnya hari yang ditentukan untuk keberangkatannya ke Syam tiba. Dari Madinah dia berangkat beserta istrinya menuju tempat tugasnya yang baru.

Sesampainya di Syam, Said memulai hari-harinya dengan amanah baru, menjadi gubernur Syam. Hingga suatu saat Said terlilit kebutuhan yang memerlukan uang. Sementara tidak ada uang pribadinya yang bisa dia pakai. Sementara itu di Madinah Umar mendapatkan tamu utusan dari Syam. Mereka datang untuk melaporkan beberapa kebutuhan dan urusan mereka sebagai rakyat yang hidup di bawah kekhilafahan Umar bin Khattab.

Umar berkata, “Tuliskan nama-nama orang miskin di tempat kalian.”

Mereka pun menuliskan nama-nama orang yang membutuhkan bantuan dari negara. Tulisan itu diserahkan kepada Umar. Dengan agak terkejut, Umar menemui sebuah nama. Said.

“Apakah ini Said gubernur kalian?”

“Ya, itu Said gubernur kami.” “Dia termasuk daftar orang-orang miskin?” tanya Umar lagi mempertegas.

“Ya,” jawab mereka meyakinkan.

Umar kemudian mengambil sebuah kantong dari kain yang terikat ujungnya. “Berikan ini kepada gubernur kalian,” kata Umar sambil memberikan kantong itu kepada mereka.

Rombongan itu akhirnya kembali ke Syam. Setelah sampai, mereka menyampaikan amanah dari Umar itu kepada Said gubernur mereka.

Sore harinya Said pulang ke rumah. Dia membuka kantong tersebut tanpa sepengetahuan istrinya. Dan ternyata kantong tersebut berisi uang seribu dinar. Jumlah yang tidak sedikit. “Innalillahi wainna ilaihi rojiun,” katanya lirih. Ternyata istrinya mendengar perkataan tersebut. “Apakah amirul mukminin meninggal?” tanya istrinya. “Tidak, tetapi musibah yang lebih besar dari itu,” kata Said. “Maukah engkau membantuku?” sambung Said. “Tentu,” jawab istrinya. “Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku,” kata Said.

Esok paginya, Said memanggil orang kepercayaannya untuk membagikan uang itu kepada para janda, anak yatim dan orang miskin yang membutuhkan. Tanpa tersisa sedikit pun. Barulah istrinya memahami kata-kata Said, “Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku.”

Begitulah. Dan memang Said selalu berusaha untuk menjadikan dunia yang dimilikinya untuk membeli akhirat. Agar mendapatkan bidadari surga.

Ketika suatu hari istrinya menuntut uang yang diberikan dari kakhilafahan, sementara uang itu telah habis disumbangkan kepada orang lain. Hingga tuntutannya itu membuat Said tersiksa. Said berusaha menghindari istrinya beberapa hari dengan selalu pulang malam. Agar dia tidak mendengar lagi tuntutan istrinya.

Sampai istrinya akhirnya tahu bahwa hartanya telah habis dibagikan cuma-cuma. Sang istri menangisi kepergian harta itu. Dan inilah yang dikatakan Said kepada istri tercintanya, “Sebenarnya istriku, dulu aku mempunyai teman-teman yang kini telah lebih dulu meninggalkanku. Aku tidak rela setelah mereka pergi aku bergelimang harta. Dan kemudian bidadari surga itu jika muncul di langit dunia akan menerangi seluruh penduduk bumi dan sinarnya itu akan memadamkan sinar matahari dan rembulan. Pakaian yang dia pakai lebih baik daripada dunia seisinya. Maka aku lebih memilih dirimu untuk menjadi bidadariku di surga nanti.” Kata-kata ini membuat istrinya Said ridho.

Kehidupan seorang gubernur Said bin Amir tidak hanya terhenti sampai tingkat kesenangannya membagikan harta. Kalau kita menengok dalam rumahnya lebih ke dalam lagi, kita akan menjumpai kehidupan seorang gunernur yang tak kita jumpai hari ini. Gubernur yang sangat zuhud kepada dunia, tidak merasa begitu perlu dengan harta, maka mustahil kalau dia rela memakan harta rakyatnya.

Inspeksi mendadak yang dilakukan Umar ke Syam akan mengantarkan kita kepada kisah-kisah dalam rumah tangga Said. Begitu sampai Himsa, Umar mengumpulkan penduduk kota tersebut dan bertanya, “Wahai penduduk Himsa, bagaimana kalian mendapati gubernur kalian?” Jawaban mereka cukup mengejutkan, “Kami mengeluhkan empat hal. Pertama, dia selalu keluar kepada kami setelah siang datang.” “Ini berat,” kata Umar. “Kemudian apa?” tanya Umar kembali.

“Kedua, dia tidak melayani siapa pun yang datang malam hari.”

“Ini juga masalah serius, kemudian apa lagi?”

“Ketiga, ada satu hari dalam satu bulan dimana dia tidak keluar sama sekali untuk menemui kami.”

“Ini tidak boleh dianggap enteng, kemudian yang keempat?”

“Dia terkadang pingsan ketika bersama kami.”

Mendengar aduan ini, Umar tidak bisa tinggal diam. Dia merasa perlu untuk cepat menyelesaikan permasalahan yang timbul antara pejabatnya itu dengan rakyatnya. Itulah pemimpin mulia yang langsung mendengar masalah rakyatnya dan langsung memberikan solusi konkrit dan bukan pepesan kosong serta janji memuakkan. Umar membuat pertemuan akbar antara Said sebagai gubernur dan rakyatnya yang siap mengadili gubernur mereka.

“Ya Allah, jangan Engkau kecewakan prasangka baikku selama ini kepadanya.”

Kata Umar membuka pertemuan, “Baiklah, apa yang kalian keluhkan?”

“Pertama, Said tidak keluar menemui kami kecuali setelah siang datang menjelang.”

Said angkat bicara, “Demi Allah sesungguhnya aku tidak suka menjawabnya. Aku tidak mempunyai pembantu, maka aku harus mengadoni roti sendiri, kemudian aku tunggu sampai adonan itu mengambang dan kemudian aku panggang hingga menjadi roti, kemudian aku wudhu dan baru keluar.’

“Terus apa lagi?”

“Kedua, Said tidak mau melayani yang datang kepadanya di malam hari.”

“Apa jawabmu, wahai Said?”

“Sesungguhnya aku tidak suka menjawabnya. Aku menjadikan siang hariku untuk mereka dan aku menjadikan malamku untuk Allah Azza Wajalla saja.”

“Kemudian apa lagi?”

“Ada satu hari tertentu dimana dia tidak keluar sama sekali dari rumahnya.”

“Apa komentarmu?”

“Aku tidak mempunyai pembantu yang mencucikan pakaianku. Sementara aku tidak memiliki pakaian yang lain. Maka aku mencucinya sendiri dan aku tunggu sampai kering, selanjutnya aku keluar kepada mereka saat sudah sore.”

“Selanjutnya apa lagi?”

“Said suka pingsan.”

“Aku menyaksikan meninggalnya Khubaib Al-Anshari di Mekah. Kematiannya sangat tragis di tangan orang-orang kafir Quraisy. Mereka menyayat-nyayat dagingnya kemudian menyalibnya di pohon kurma. Orang Quraisy itu meledek, “Khubaib, apakah kamu rela jika Muhammad sekarang yang menggantikanmu untuk disiksa?” Khubaib menjawab, “Demi Allah, kalau saya berada tenang dengan keluarga dan anakku, kemudian Muhammad tertusuk duri sungguh aku tidak rela.” Ketika itu aku masih dalam keadaan kafir dan menyaksikan Khubaib disiksa sedemikian rupa. Dan aku tidak bisa menolongnya. Setiap ingat itu, aku sangat khawatir bahwa Allah tidak mengampuniku untuk selamanya. Jika ingat itu, aku pingsan.”

Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan prasangka baikku kepadanya.”

Senin, 13 Januari 2014

Balada Kucing & Tikus



‘’Ceritakan kisah aneh yang sudah aneh kek’’ pinta Tiwi sebelum tidur. Sorot mata kakeknya menerawang. Dimulalah cerita itu.
Di atas gedung pencakar langit, awan menggumpal menjadi hitam pekat, menciptakan air, menurunkan hujan. Gedung berlantai 145 itu diguyur hujan lebat, mengalir membasahi lapisan bumi jantung kota.
‘’gawat, pak!’’ kata sekretaris perusahaan itu lewat telpon tiba-tiba.
‘’gawat bagaimana?’’
‘’lantai paling atas acak-acakan. Arsip dan brankas banyak yang sobek dan rusak.
‘’oke, ke sini saja kamu!’’
Sekretaris itu setengah berlari ke ruang bosnya.
‘’tok...tok...’’
‘’Masuk! Apa penyebabnya?’’ tanya bos itu seperti gusar benar.
‘’Tikus pak’’
‘’Tikus, hannya tikus?’’
‘’Iya, tikus. Karyawan bilang, lantai atas tiba-tiba diserbu tikus’’
‘’Banyak?’’
‘’Tentu banyak pak. Namanya juga diserbu. Oh ya, clening servise dan seluruh security sudah di kerahkan, namun tetap pentungannya tidak bisa mengusir tikus-tikus itu’’
Bos bertubuh tanbun itu mondar-mandir seraya berfikir apa yang terjadi. Ia perhatikan kursi jabatannya dengan seksama. Ada gurat kekhawatiran di  wajahnya. Suasana aman di gedung itu terganggu, terutama di lantai paling atas. Memang tikus-tikus seperti menteror penghuninya. Para karyawan takut dan cemas, karena tikus-tikus itu tidak pernah di ketahui sebelumnya. Ukuran tak sama dengan tikus pada umumnya. Inilah yang kelihatan aneh dan langka, selain masih banyak lagi perdebatan dengan tikus-tikus di luar. Semua karyawan baik laki-laki ataupun perempuan meringis dan tidak ada yang berani mengusir.
‘’Busyet! Semakin gawat bos’’ lapor kepala security yang nyelonong masuk ke ruang bosnya.
‘’Tikusnya tambah banyak. Sekarang nyebar kelantai 17’’
‘’Berarti sebentar lagi merambah ke sini dong. Hi.... !’’ ucap sekertaris itu meringis  dan geli. Kedua mata presedirnya melirik tingkah sekertarisnya.
‘’Gimana bos? Semua karyawan sudah enggak tahan. Mereka semua sudah mencak-mencak’’ kata kepala security lagi, mendesak bosnya agar segera mengambil kebijakan.
‘’Hentikan aktivitas, gitu?’’
‘’Iya Bos, sebelum tikus-tikus itu lenyap’’ presedir itu mengangguk setuju, semua karyawan diliburkan. Kemudian para karyawan itu dengan  terpaksa harus pulang, meski hujan di luar belum reda benar. Dalam perjalanan mereka saling bertanya cerita tikus-tikus itu.
‘’Tikusnya aneh-aneh. Badannya besar-besar dan warnanya macam-macam.  Sebenarnya sih lucu kalau dilihat, karena kayak boneka’’
‘’Seperti Micky Mouse?’’ potong yang lain dengan pertanyaan karena penasaran.
‘’Subhanallah! Iya betul. Tikus-tikus itu kayak Micky Mouse, yang di lehernya melingkar kalung yang mirip sebuah dasi. Tapi tikus yang ini ganas, lho! Bayangkan, selain makan daging dan ikan ia juga suka melahap kertas-kertas seperti kecoak. Pokoknya langka deh’’
‘’Waladalah, dasar tikus kota!’’

***

Dirumahnya yang megah, direktur perusahan itu termenung sendiri. Setang cerutu yang di apit dua jari kirinya. Boleh jadi ia nervous, khawatir perusahaannya bangkrut. Kisah wabah tikus di perusahaannya  sudah banyak yang tahu, media informasi menyebarkannya. Maka wajar bila orang-orang terutama pihak asing menanam saham lagike dalam  perusahaannya, semuanya takut rugi. Maklum, seluruh ruangan perusahaan itu sudah dipenuhi tikus. Barang –barangpun hanya sedikit  yang  terselamatkan. Sudah terlalu lama mungkin tikus-tikus itu bersarang disana. Di tengah kegalauan dan kebingungan bos dan serta seluruh karyawan perusahaan itu, tiiba-tiba ada yang menjadi juru selamat kayaknya ratu adil yang datang disituasi yang tepat.
‘’Oke! Apa yang bisa anda lakukan?’’
‘’Kami hanya ingin menolong, dan berusaha semaksimal mungkin, selebihnya kami serahkan pada tuhan’’ ucapnya datar.
‘’Kami memiliki racun terbaik made in Amerika dan Swiss’’ lanjutnya
‘’Taukah anda kalau tikusnya ganas dan rakus?’’
‘’Hemm!’’
‘’Baiklah jika begitu. Kami trima tawaran Anda’’ ucap menejer perusahaan itu diselingi rasa ragu.

***

Di hari yang ditentukan, gedung pencakar langit itu dikepung personil pemadam kebakaran. Tapi kali ini tugas mereka memadamkan api tikus yang semakin berkobar, mewabah di setiap sudut ruang itu. Otomatis bahan yang mereka gunakan bukan air, melainkan racun tikus yang bermerek IMF. Namun ajaib yang terjadi, setelah racun itu disemprotkan, tikus-tikus itu bukan malah kalang-kabut dan mati. Tikus-tikus itu seakan menemukan oase di padang gersang. Mereka, para tikus meminum racun itu, haus sekali kelihatannya. Ternyata tikus-tikus itu sudah kebal , benar-benar bengal dan tak kenal kenyang. Ulah tikus-tikus sudah keterlaluan. Entah tersimpan dimana barang –barang yang masuk ke dalam perutnya?. Hal yang tak masuk akal bagi para karyawan dan seluruh staf perusahaan itu. Menjengkelkan, bikin kesal karena telah membuat mereka menganggur, padahal mereka butuh makan.
Demikian yang terjadi wabah tikus membuat para karyawan itu kehilangan pekerjaan. Mereka harus di PHK, harapan bagaikan sirna ditelan kebiadaban dan kerusakan, perusahaan itu hampir gulung tikar akibat hutang luar negeri yang sedianya untuk mengembangkan usaha tak terbayar, ditambah bantuan kemanusiaan yang non sense dan omong kosong belaka. Guna mengusir tikus katanya, mata dunia menyorotinya. Semua dunia tahu, perusahaan yang telah berkembang itu dapat malapetaka, sendrom di perusahaan itu sering jadi wacana pers internasional. Dahsyat!

***

Inisiatif demi inisiatif  telah direalisa sikan guna memberangus tikus-tikus itu, tak pernah diperoleh hasil maksimal, dan akhirnya di temukan solusi alternatif yaitu dengan mengumpulkan kucing-kucing agar dapat memangsa tikus-tikus. Dalam rapat akbar yang agendanya ‘’menumpas tikus hingga tuntas’’, ada salah satu pimpinan perusahaan cabang yang mengusulkan agar kucing saja yang menumpasnya, selama ini memang tikus-tikus paling terkenal takut sama kucing.
Dalam rapat akbar tersebut ada perhelatan memanas ketika kucing menjadi sebuah usulan. Boleh jadi  karena tikus-tikus itu telah menjamur ke perusahaan cabang yang tersebar di ibu kota propensi, kabupaten bahkan sampai ke agen yang ada di desa-desa. Tentang kemampuan kucing-kucing itu banyak di  ragukan, melihat sindrom tikus yang semakin mewabah dan ganas saja. Walau, toh akhirnya setuju semua.

***

Beribu-ribu kucing terkumpul  sudah. Kucing-kucing itu diberi makan secukupnya agar memiliki tenaga dan mampu melumat tikus-tikus itu. Sengaja memang. Jika nanti terlalu kenyang dikhawatirkan kucing itu malas melaksanakan tugas.
‘’Bagaimanapun percobaan kita harus berhasil’’ ucap kepala security. Tangannya terkepal.
‘’Tapi jangan lupa berdoa pada yang kuasa pak’’. Kata bawahannya, mencoba menasehati.
‘’Diam kau! Sompret’’.
‘’Siap!’’ eksperimenpun dilaksanakan. Serempak kucing-kucing dilepas. Lantas kucing-kucing itu merangsek ke seluruh penjuru yang dapat dilalui tikus. Kucing-kucing itu mengepung gedung itu. Tikus-tikus tau kucing datang. Tanpa sebuah komando semua tikus itu bersembunyi, lantas lari terbirit-birit. Kucing pun berlari-lari mengejar tikus itu. Tikus menghilang sembunyi.
Semua tampak puas akan kinerja kucing. Eksperimen pertama di anggap berhasil. Setelah 3,2 bulan terakhir. Tidak ada lagi tikus-tikus itu. Gedung itupun dibersihkan kembali, ditata lagi seperti semula, seperti kertas-kertas yang berserakan dan........
‘’Terus kisah kejar-kejaran antara tikus dan kucing?’’ potong Tiwi penasaran. Tikus itu berusaha menyelamatkan diri dari kejaran kucing. Tikus-tikus melompat-lompat dan berlari terus, hingga sampailah mereka ditengah-tengah sungai yang kotor. Tikus-tikus itu berenang di sana. Senang sekali sepertinya mereka berkelit di sana dari serbuan kucing. Sementara sang kucing siap siaga berjaga di tepi sungai. Mulut kucing-kucing itu menganga menampakkan taring-taringnya seperti hendak menerkam, melumat apa saja yang berada di depannya. Sayangnya kucing paling takut berenang.
‘’Begitulah’’ jawab sang kakek singkat. Kemudian kedua mata Twi terpejam. Dalam bunga tidurnya ia melihat tikus-tikus itu telah tiada, dimakan usia.


               

Kamis, 09 Januari 2014

Catatan harian suami Buat istri tercinta



Siang itu, matahari bersinar terik. Kemarau panjang yang berlangsung sekitar lima bulan, dengan angkuh membakar bumi. Pohon-pohon banyak yang meranggas kekurangan air. Bunga-bunga yang menyejukkan pandangan kini mulai layu. Dan deru mobil-mobil mewah tak tahu aturan melaju begitu saja tanpa menoleh pada anak-anak jalanan yang sedang kehausan. Sebuah kekejaman yang kembali menorehkan luka di hati si miskin-papa. Hingga kesenjangan social yang terjadi, laksana jurang yang dalam di lereng gunung.
"Assalamu'alaikum…"
"Oh Dedy…, good afternoon…"
Selalu itu…yang dia ucapkan untuk menjawab salamku. Mengapa istriku sudah berubah demikian jauh, padahal aku selalu protected untuk hal-hal modern yang tak sesuai dengan ajaran dan budaya Islam. Kucoba untuk bersabar mendengar jawaban istriku untuk yang kesekian kalinya, walaupun ingin rasanya aku marah. Ingin aku lontarkan semua apa yang ada di dalam hatiku. Hingga akhirnya kata-kataku terlepas begitu saja…
"Emang nggak ada yang lain untuk menjawab salamku?!"
Yach, mami hanya ingin mengikuti perkembangan zaman saja, dedy…., mami melihat teman-teman mami sesame istri pejabat setingkat dady kalau mengucapkan salam kepada suaminya demikian. Jadi apa salahnya bila mami mencobanya pada papi…"
 ”But I don't want all are changed. No better way than Islamic way, my darling. So please, don't continue what you have done after this…"
"Ah udah… udah …, masalah itu saja yang kamu permasalahkan. I think there is not something wrong. And also there is not a principle problem."
 Huh…, kurebahkan badanku di sofa ruang tamu. Lama aku tengadahkan kepalaku pada langit-langit rumahku. Ada sesak menyeruak ke dalam dadaku mengingat kejadian yang bara saja terjadi. Sebuah berbedaan kecil yang menurutku cukup prinsipil. Namun entahlah sampai kapan ini semua akan berakhir…
  Baru sakitar lima menit aku tenggelam dalam lamunanku, terdengar langkah kaki istriku mendekat. Dengan berbalut blazer ketat berwarna merah muda, depadu dengan jilbab transparan berwarna jingga dan celana kain kitat yang nampak modis, perlahan mendekat menghampiriku.
 "Abi…, aku ada meeting dengan kolega bisbis. Aku pamit, mungkin sekitar jam sepuluh malam aku baru kembali."
Tertegun aku mendengar ucapannya. Bukan karena permintaan izinnya yang  memberatkan hatiku. Namun cara berpakaian istriku sudah mulai asing dariku. Semakin jauh, hingga aku tak dapat mengenalinya lagi. Belum sempat aku menjawab permintaan izinnya, kaki beralas sepatu dengan hak tinggi itu, sudah menjauh dari hadapanku. Bunyi hak sepatu yang beraturan seakan hentakkan jarum yan gyeratur menusuk-nusuk dagingku.
  "Kreieeeeeet…", suara pintu rumahku terdengar terbuka. Dan istriku mulai keluar sebelum ia mendengar jawabanku. Semuanya telah berubah.

***
Tumpukan buku di meja kerjaku berserakan tak terurusi. Catatan pinggir Goenawan Muhammad, inspiratorku menulis nampak kumal, seperti buku sisa-sisa zaman Renaisanse. Mushaf usang, hadiah dari istriku saat aku ulang tahun pertama setelah kita menikah, selalu menjadi penghibur kekalutanku saat ini. Hingga mushaf setebal tiga inci itu berubah menjadi lima inci oleh deraian air maraku. Dipojok meja kerjaku, masih terpampang foto belahan jiwaku, istriku. Foto saat pertama kali aku menaruh hati padanya, tujah tahun yan gsilam. Namun foto itu kini telah berubah. Aku seperti tidak mengenalnya lagi. Dna keterasinganku dengan orang yang aku cintai membuatku pergi meninggalkan rumah. Aku jengah. Aku bosan. Sudah seminggu aku tidak pulang ke rumah. Aku ingin mencari dan merenungkan, mengapa semuanya telah berubah.
  Lama kupandangi diary merah muda, tempat aku menulis segudang obsesiku semenjak aku menikah. Sudah ribuan kata-kata tertuang di dalamnya. Mulai assa indahnya bulan madu dengan istriku, berangan-angan memiliki anak selusin sampai pertengkaran kecil yan gterjadi antara aku dan dirinya. Hingga kemudian seperti ada kekuatan yan gmendorongku untuk meraih dan membacanya kembali. Lembar demi lembar kubuka catatan harianku. Hiingga tatapanku terpaku pada tulisan berwarna biru di tahun kedua aku menikah:
  Jakarta, 15 Mei 2007
Tuhan,…
Keadilan-Mu kembali hadir di bahtera rumah tangga kami…
Walaupun hanya makan berlauk temped an sayur lodeh buatan istriku yang terkadang rasanya terlalu asin, namun ada kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri hidup didampinginya. Berapapun uang belanja yang aku berikan kepadanya, ia terima dengan senyuman. Terima kasih tuha, kau telah anugrahkan kepadaku istri sebaik dia…
 Namun setelahmakan malam, demalam yang sedang hujan gerimis itu, sambil memijit punggungku yang kelelahan bekerja, dengan manja ia berkata padaku…
  "Abi, jubahku udah mulai kekecilan untuk ukuran tubuhku. Sekarang saja sudah sampai mata kakiku. Dan juga, jilbabku sudah robek diatasnya. Kalau Abi diberikan rizki lebih oleh Allah, aku dibelikan jubah dan jilbab yang baru ya…"
  Mendengar kata-katanya yan gterakhir ini, hatiku seakan menjerit
"Oh Tuhan berikan aku kemampuan untuk membahagiakannya…"
Buliran air mataku menitik, membentuk lingkaran noktah di diaryku…
 
  Bayanganku tenggelam menuju lima tahun yang silam. Saat itu, setelahkami sama-sama diwisuda, kami mencoba untuk hidup mandiri membina bahtera rumah tangga. Walaupun hanya menempati rumah kpntrakan ukuran 5 x 8, namun ditemani istri yang sholihah, rasanya rumah seukuran tersebut merupakan villa mewah di tengah taman nan indah.
  Namun setelah semuanya berubah. Setelah aku menjadi salah satu anggota legislative propinsi Jawa Barat, setelah dia juga menjadi istri pejabat yang juga harus bergaul dengan sesame istri pejabat, semuanya telah berubah. Hingga aku merindukan kembali saat-saat seperti dulu lagi, bahkan seperti ketika kita menempati gubuk ukuran 5 x 8. aku  sangat merindukan kembalinya jubah dan jilbab yang selalu menyejukkan bila kupandang, walaupun warnanya telah pudar. Aku merindukan tetesan-tetesan embun pagi pada kelopak mawar merah yang sedang merekah dipanasnya terik matahari. Tuhan aku sangat merindukan saat-saat tersebut.
    Suara adzan dzuhur menggema membuyarkan lamunanku. Takterasa sudah tiga jam aku duduk merenungi saat-saat indah bersama istriku dulu. Bergegas aku menuju kamar mandi apartement yang aku tempati. Guyuran air wudhu' menyapu mukaku meruntuhkan dosa-dosa yan gsiang tadi hinggap di pelupuk mataku. Aku bersimpuh di hadapan tuhanku, kupanjatkan doa "Oh Tuhan…, aku merindukansuasana seperti dulu lagi…"
   Lama aku berdoao kehadirat-Nya. Hingga kemudian aku tergerak untuk meraih pena dan secarik kertas merah muda dari diary kenanganku. Dan segala kegundahanku kutuangkan dalam oretan kolaborasi semua perasaaan dan asa.
  To: Istriku, Fia
   Istriku,…
  Sekarang aku sudah mulai asing dengan dirimu…
Kini kau bukan lagi Fia yang aku kenal di kampus kita dulu, 7 tahun yang silam. Jubah panjangmu yang dulu sering menyapu dedaunan dan ranting di halaman musholla kampus kita, sekarang sudah berubah menjadi blazer ketat nan modis.
 Cara berpakaianmu kini, lebih sering mengudik rasa risihku dari tatapan lelaki lain yang iseng menatap lekuk-lekuk tubuhmu.
 Istriku,…
Dulu bibirmu yang polos tanpa pulasan, sering berbicara santun tentang pentingnya muslimah menjagasikap, harga diri dan pergaulan.
 Bahkan bersolek atau sekedar alas bedak merupakan hal tabu bagimu, "kecuali untuk suamiku kelak…," katamu kala itu.
Kini kulihat, bibir itu sudah berganti-ganti warna setiap hari dengan sapuan koleksi gincu bermerk Yves Saint Laurent, Avon, L’oreal, atau entah apa lagi namanya. Bibir itu lebih lincah bercerita tentang pentingnya muslimah menjaga reputasi kerja, pencapaian target, keutuhan tim kerja dengan kolega, atau berbagai macam teori motivasi kerja dan organnisasi yang (minimal menurutku) kurang sreg untukmu. Istriku,…
  Wajah sederhana penuh ghiroh yang dulu sering kulihat menghiasi halaman musholla kampus dalam setia acara pembukaan pengajian, kini telah menjadi etalase odernitas denganpulasan bermacam-macam merk make up. Wajah berbingkai nw ew dearshioned itu sering terpajang manis di sela-sela seminar, workshop, sarasehan dan rapat-rapat kerja di berbagai hotel mewah. Wajah itu lebih seringa terlihat memancarkan semangatmu dalam mengejar target laporan kantor, sehingga kamu sering terlena dan melupakan indahnya lantunan adzan.
 Istriku,…
Deretan gigi putih diiringi senyum manismu saat bercengkrama dengan rekan akhwat de sela-sela rehat kuliah dahulu, sekarang sudah menjadi derail tawa lebar yang terlalu seringa menggema di segenap ruang kantormu. Bahkan dari sini pun,” aku masih bias mendengar derail tawamu dan kolega-kolegamuitu.
Istriku,…
Maafkan aku, kalau sekarang aku sudah mulai tidak mengenalmu lagi…
Bahkan setelah 10 tahun pernikahan kita,…
  Kegusaranku ini, tak lebih, hanya karena si kecil sekarang lebih banyak hapal beberapa bait lagu peterpan dari pada” beberapa ayat Al-Qut’an.
Kegelisahanku sekarang, tak bukan, adalah ketakutanku akan gilangnya momen-momen indah hidup kita dalam mendidik anak-anak kita.
  Kegundahanku saat ini, tak lain, adalah ketakutanku akan bualan angina duniawi yang mulai menerpa dan melenakan dirimu.
  Maafkan,… kalau aku sekarang (terlalu) takut sekali kehingan “dirimu”, yang dulu.
Itu saja…
Suamimu
Andree
Lama kupandangi oretan luapan emosiku. Kemudian aku beranjak untuk meraih amplop hijau muda di laci meja kerjaku. Kumasukkan tiga lembar surat tersebut kedalam amplop.
‘’Ya Allah…, aku sangat takut kehilangan dia. Aku sangat merindukan dia seperti dulu lagi. B erilah hidayah kepadanya. Tapi jika tidak , cintaku kepada-Mu lebih besar, Tuhanku… biarlah aku jatuh talak satu kepadanya. Tuhanku…, kuatkanlah aku…





Menggambar Wajahmu

Jika aku harus  menggambar  wajahmu adikku
Aku pasti selalu kesulitan memulainya
Matamu, selalu penuh rumput-rumput hijau berembun
Yang siramkan sejuk di mataku
kadang berserakan pula dedaunan kering
yang menyesakkan lubang hidungku
Namun, tak pernah hilang salju yang turun di sekitar alismu
Hidungmu, burung-burung  gereja selalu hinggap berebutan
Sungguh sempurna…….. andai hinggap dihidungku!
Bibirmu, tumbuh diantara buah strawberry
Saat musim semi begitu mempesona
Bila musim gugur, angin membawa tanyaku “Keringkah warnamu?”
Namun selalu kuharap agar kau selipkan senyummu pada setiap aliran mata air

Entahlah! Terlalu sulit membayangkan rupamu

Mungkin kuberi warna kulitmu dulu!
Tapi masih saja.........bahkan lebih sulit tentukannya,
Memandangnya saja aku masih ragu
Menyentuhnya mungkin lebih baik
Tapi tanganku masih takut kotorimu

Entahlah terlalu sulit mereka-reka warnamu

Kuharap ayah segera membantuku
Mengajariku menggambar wajahmu dan mewarnainya

Enzo Alifymouvic 261112|130134


Rabu, 08 Januari 2014

UNTUK AYAH


Ayah…..
Seringkali kau lemparkan senyum masam padaku
Kecut sekali lidahku merasanya
Mungkin kehendakmu atau tatapku saja?
Bukan masalah bagiku ayah….!
Bila kau beri aku buah apel
Aku tak bisa langsung memakannya
Kulitnya tebal berlapis kaca
Kulempar-lempar, ku tiup-tiup, kupandang-pandang
Lalu ku simpan, tak lebih dari itu
Marahkah kau padaku ayah?
Hingga kau tega mengambilnya dari kotak mimpiku
Tapi kurasa tidak…….
Mungkin teman jauhku katakan begitu
Maafkan aku ayah…..
Jika aku kurang atau tidak sopan padamu
Kadang aku melangkah didepanmu
Kadang aku bangunkan tidurmu
Kadang aku tak indahkan panggilanmu
Aku hanyalah anakmu ayah……
Yang tak punya mata, mulut, dan segala
Berani berucap dihadapmu
Hanya satu pintaku ayah!
Jangan kau ambil lagi apel-apel berkulit kaca
Yang sering kau berikan padaku

Anakmu……
Enzo Alifymouvic 011212|180134